Update Terkini | Konawe Utara, Sulawesi Tenggara — Minggu 15 Desember 2025 | Proyek pembangunan Hunian Tetap (Huntap) bagi korban bencana di Kabupaten Konawe Utara kini menjadi sorotan publik nasional. Proyek yang seharusnya menjadi simbol kehadiran negara dalam pemulihan pascabencana justru disinyalir menyimpan persoalan serius, mulai dari dugaan kerusakan dini bangunan, lemahnya pengawasan teknis, hingga potensi pelanggaran hukum yang dapat berujung pada kerugian negara.
Sorotan menguat setelah Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konawe Utara, Ns. Muh. Aidin, S.Kep, MM, memberikan pernyataan singkat kepada media yang dinilai normatif dan tidak menjawab substansi persoalan di lapangan. BPBD memilih menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dijadwalkan awal tahun depan, tanpa menjelaskan langkah korektif atas dugaan kerusakan fisik bangunan.
“Nanti ditunggu hasil audit BPK awal tahun depan,” ujar Aidin.
Pernyataan tersebut justru memicu pertanyaan besar. Audit BPK pada prinsipnya berfokus pada aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, bukan dijadikan tameng untuk menunda tanggung jawab atas dugaan kerusakan fisik bangunan yang muncul bahkan sebelum hunian difungsikan secara optimal.
Hasil penelusuran awal serta temuan lapangan yang disampaikan sejumlah pihak menunjukkan indikasi retak pada struktur bangunan, penurunan tanah, serta dugaan kekurangan volume pekerjaan pada sejumlah unit Huntap. Kondisi tersebut menimbulkan kekhawatiran serius terkait keselamatan penghuni dan kelayakan hunian sebagai tempat tinggal permanen korban bencana.
BPBD berdalih bahwa pergeseran tanah disebabkan faktor alam dan cuaca ekstrem. Namun, kalangan ahli konstruksi menilai alasan tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Risiko geoteknik seharusnya telah diantisipasi sejak tahap perencanaan dan perancangan, terlebih proyek Huntap dibangun di wilayah rawan bencana.
“Jika faktor alam selalu dijadikan pembenaran, lalu di mana fungsi kajian teknis, perencanaan struktur, serta pengawasan pekerjaan?” ujar seorang pengamat kebencanaan yang enggan disebutkan namanya.
Penetapan proyek pada tahap PHO (Provisional Hand Over) juga menuai kritik. Dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, PHO bukanlah akhir dari tanggung jawab, melainkan fase awal pengujian mutu bangunan sebelum memasuki masa pemeliharaan.
“PHO tidak otomatis menutup ruang koreksi. Justru di situlah tanggung jawab penyedia jasa dan pengguna anggaran diuji. Jika terjadi kerusakan dini, negara wajib hadir dan bertindak, bukan bersembunyi di balik prosedur administratif,” tegas Ramadan, pemerhati kebijakan publik.
Menurutnya, sikap pasif BPBD berpotensi menimbulkan kerugian negara berlapis, mulai dari pemborosan anggaran, biaya perbaikan ulang, hingga risiko sosial apabila bangunan tidak layak huni.
Dugaan persoalan proyek Huntap Konawe Utara membuka ruang pemeriksaan hukum yang lebih luas. Jika terbukti terdapat kekurangan volume pekerjaan, pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis, atau pembiaran oleh pejabat berwenang, maka sejumlah ketentuan hukum berpotensi dilanggar.
Di antaranya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 mengatur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara.
Selain itu, UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga relevan.
Pasal 59 dan Pasal 60 menegaskan kewajiban pemenuhan standar keselamatan dan tanggung jawab pengguna jasa atas kegagalan bangunan.
Pasal 67 menyatakan kegagalan bangunan dapat berimplikasi hukum hingga pidana.
Dalam konteks pengadaan, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo. Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan sanksi apabila pekerjaan tidak sesuai kontrak.
Bahkan, jika terdapat unsur pembiaran oleh pejabat berwenang, maka Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan kekuasaan juga berpotensi diterapkan.
Tak kalah penting, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan pada Pasal 60 bahwa pemerintah bertanggung jawab menjamin hak korban bencana, termasuk hunian yang aman dan layak.
Dalam perkembangan terbaru, DPP LIDIK KRIMSUS RI Sulawesi Tenggara menyatakan tengah mengkaji laporan dan mengumpulkan bahan keterangan untuk dilaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH).
“Ini bukan sekadar persoalan administrasi. Ini menyangkut dugaan pembiaran, potensi kerugian negara, serta hak korban bencana atas hunian yang layak, aman, dan bermartabat,” tegas pernyataan LIDIK KRIMSUS.
Polemik ini menjadi ironi di tengah penderitaan korban bencana. Huntap yang seharusnya menjadi ruang pemulihan justru berpotensi menambah trauma baru apabila dibangun tanpa kualitas dan pengawasan yang memadai.
Kegagalan memastikan mutu hunian pascabencana bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyangkut kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam melindungi warganya.
Kini, sorotan publik tertuju pada Pemerintah Kabupaten Konawe Utara dan BPBD setempat. Apakah akan tetap bertahan pada narasi “menunggu audit”, atau berani membuka data secara transparan, melakukan evaluasi menyeluruh, serta mengambil langkah korektif yang nyata dan terukur.
Kasus Huntap Konawe Utara menjadi ujian serius: apakah proyek penanggulangan bencana benar-benar berpihak pada rakyat, atau sekadar berakhir sebagai angka dalam laporan pertanggungjawaban.
LIDIK KRIMSUS menegaskan, jika tidak ada langkah transparan dan bertanggung jawab, jalur hukum akan ditempuh demi memastikan anggaran negara tidak berubah menjadi bangunan rapuh yang membahayakan masa depan korban bencana.
Tim Investigasi Nasional
(Red/Tim)



.png)
Posting Komentar untuk "LIDIK KRIMSUS Bongkar Dugaan Masalah Huntap Konawe Utara: BPBD Dinilai Pasif, Kerugian Negara Terancam!"