Garut, jejakkriminal.net-
Sebuah cuplikan pidato mantan Bupati Purwakarta dan eks Anggota DPR RI, dan kini menjabat gubernur jabar, Kang Dedi Mulyadi, kembali menghangatkan diskursus publik. Dalam potongan video yang beredar di berbagai platform, Kang Dedi menyatakan:
“Transparansi itu adalah keterbukaan. Maka pejabat itu bisa bercerita apa pun tanpa menggunakan biaya negara. Bercerita di media sosial, di YouTube, Facebook, TikTok, Ig, Ceritakan apa pun, tidak usah lagi ada kerja sama media. Itu efisiensi. Saya kalau tidak punya YouTube sendiri, mungkin sudah demo berjilid-jilid di Gedung Sate. Kenapa? Karena banyak ucapan saya yang dipotong-potong, kemudian disebarkan…”
Pernyataan ini menjadi titik tolak kritik publik tentang peran media konvensional di tengah dominasi media sosial yang terus melaju kencang. Apakah transparansi bisa digantikan oleh akun pribadi pejabat? Apakah keterbukaan informasi tanpa penyaring jurnalistik tetap bisa dipercaya?
Pejabat Tak Butuh Media? Ancaman Nyata bagi Masa Depan Pers Indonesia
Dalam analisis hukum dan sosial yang disusun oleh Kapten Iwan Sunarya, Direktur LBH Delik Hukum Negara, terdapat benang merah kegelisahan:
“Banyak pejabat kini memilih berbicara melalui kanal pribadi. Ini memang efisien, tapi rawan disinformasi dan narasi tunggal. Tanpa media profesional, siapa yang menguji kebenaran? Siapa yang memberi ruang hak jawab?" kata Kapten Iwan.
Media Sosial Vs Media Profesional: Siapa yang Menjaga Kebenaran? Media sosial memberi ruang instan dan luas, namun tidak punya tanggung jawab etik maupun hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Perusahaan pers memiliki:
Verifikasi dua arah
Redaksi independen
Tanggung jawab terhadap publik
Kode etik yang dijaga Dewan Pers
Sementara itu, akun media sosial pejabat bersifat monolog dan sulit diuji kebenarannya.
Kang Dedi: Pejabat Tak Perlu Media! Benarkah Transparansi Tanpa Jurnalis? Pernyataan Kang Dedi bisa ditafsirkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap media yang kerap memotong ucapannya. Namun, meletakkan seluruh narasi hanya di tangan pejabat tanpa verifikasi redaksional dapat menciptakan buzzerisasi kekuasaan, bukan transparansi.
“Tanpa jurnalis, publik hanya menerima cerita versi penguasa. Ini berbahaya bagi demokrasi,” tegas Kapten Iwan.
Jika Semua Pejabat Punya YouTube, Untuk Apa UU Pers Ditegakkan? Pertanyaan ini menggema luas. Apakah negara harus tetap mendukung ekosistem pers profesional, atau membiarkan semua informasi dikendalikan oleh kanal pribadi dan algoritma? Jawabannya, menurut LBH Delik Hukum Negara, jelas: Negara wajib menjaga eksistensi pers profesional sebagai salah satu tiang demokrasi.
Ketika Media Dipinggirkan, Siapa yang Kawal Kebenaran Publik?
Kapten Iwan mengingatkan bahwa saat media independen dilemahkan, maka yang muncul adalah narasi tunggal, promosi kekuasaan, dan hilangnya fungsi kontrol sosial.
“Kita harus mendukung kebebasan pejabat berbicara di media sosial, tapi tidak boleh mengorbankan pers yang selama ini menjadi penjaga akal sehat bangsa,” pungkasnya.



.png)
Posting Komentar untuk " Medsos Vs Media Profesional Jika Semua Pejabat Punya YouTube, Untuk Apa UU Pers Ditegakkan?"