Ketapang – Kabupaten Ketapang kembali diguncang dengan aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh kelompok penambang emas ilegal yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Kelompok Petir. Mereka menuntut pembebasan salah satu anggota mereka, Roni Paslah, yang terlibat dalam pemukulan terhadap awak media yang meliput kegiatan tambang ilegal di wilayah tersebut. Peristiwa yang terjadi pada 9 Juni 2025 di halaman Mapolres Ketapang itu berakhir dengan kejutan publik: Roni Paslah dibebaskan tanpa proses hukum yang jelas.
Keputusan untuk membebaskan Paslah dalam waktu singkat menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang mengatur hukum di Ketapang? Dugaan kuat mencuat bahwa para aktor besar di balik bisnis emas ilegal, yang sudah lama menggerogoti daerah ini, juga mengendalikan peredaran BBM bersubsidi jenis solar, serta jaringan narkoba yang meracuni masyarakat Ketapang.
Sebagai pusat kekuatan ekonomi dan politik di wilayah tersebut, bisnis tambang ilegal telah menghubungkan berbagai kepentingan besar, yang mencakup tokoh-tokoh politik, aparat penegak hukum, dan para pengusaha hitam yang memperdagangkan nyawa demi keuntungan. Inilah yang membuat Ketapang menjadi medan tempur bagi banyak pihak yang memperebutkan "kekayaan bawah tanah" tanpa mempedulikan dampak sosial maupun lingkungan.
Ironisnya, hanya dua bulan setelah kejadian itu, tragedi kembali terjadi di lokasi tambang emas ilegal. Pada 5 Agustus 2025, tiga pekerja tambang tewas tertimbun longsoran tanah saat melakukan aktivitasnya di kawasan yang sama. Ketiga korban—yang hanyalah bagian dari ribuan pekerja kasar lainnya—kembali menjadi tumbal dari bisnis ilegal yang tidak tersentuh hukum.
Sementara itu, meskipun Kapolda Kalimantan Barat, beserta Kapolri, telah beberapa kali mengungkapkan komitmen mereka untuk memberantas PETI (Pertambangan Tanpa Izin), mafia minyak, serta peredaran narkoba, kenyataannya di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Penegakan hukum di Ketapang seolah tidak lebih dari sekadar slogan kosong belaka. Hukum tampak tumpul ke atas, tajam ke bawah—menindas rakyat kecil yang tak berdaya dan membiarkan para pelaku bisnis ilegal terus bebas menjalankan operasi mereka tanpa ada yang menghalangi.
Para penambang ilegal, yang sudah menjadi bagian dari sistem yang terkooptasi, sering kali dijadikan kambing hitam dalam setiap tragedi yang terjadi. Namun, bos-bos besar yang mengendalikan operasional tambang ilegal ini, yang juga menguasai distribusi solar bersubsidi serta pasar narkoba, tetap berada di luar jangkauan hukum. Mereka berlindung di balik kekuasaan dan hubungan yang kuat dengan para pejabat di level lokal hingga pusat, membuat mereka kebal terhadap segala upaya penegakan hukum.
Keterlibatan Elit dan Jaringan Bisnis Gelap
Lebih dari sekadar sebuah kebetulan, keberlanjutan bisnis PETI di Ketapang berkaitan erat dengan praktik bisnis gelap yang menghubungkan para pengusaha ilegal, mafia minyak, dan bandar narkoba dengan sejumlah pejabat pemerintahan. Tak jarang, para pemangku kepentingan ini melakukan kerja sama yang saling menguntungkan—di mana mereka mendapat keuntungan dari hasil bumi yang dieksploitasi secara ilegal, sementara aparat penegak hukum dan pejabat publik mendapat bagian dari keuntungan tersebut dalam bentuk suap, aliran dana, atau bahkan posisi politik.
Pemerintah pusat dan daerah seakan tidak mampu melakukan apa-apa. Mereka terlalu sibuk dengan agenda politik dan kekuasaan, sementara nasib rakyat Ketapang yang bergantung pada tambang ilegal tak pernah mendapat perhatian serius. Keputusan yang diambil hanya demi keuntungan politik sesaat dan kepentingan pribadi, meninggalkan rakyat kecil yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan kekerasan hukum.
Realitas Gelap: Hukum Adalah Komoditas
Ketapang adalah microcosm dari negara yang hukum dan keadilan bisa dipermainkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Pembebasan Roni Paslah, tragedi longsor yang merenggut tiga nyawa pekerja, serta ketidakmampuan aparat untuk menuntaskan mafia yang mengendalikan sumber daya alam di daerah ini menunjukkan bahwa di Ketapang, hukum bukanlah untuk ditegakkan—melainkan untuk diperjualbelikan. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi aset negara dan rakyat, justru dikuasai oleh segelintir orang yang hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memedulikan keselamatan, hak asasi, dan keadilan sosial.
Hukum yang ada di Ketapang hanya menjadi alat bagi mereka yang menguasai ekonomi dan politik untuk menjaga status quo, mengamankan bisnis ilegal mereka, dan menghindari jeratan hukum yang seharusnya menimpa mereka. Selama "tiga komoditas haram" ini—emas ilegal, BBM bersubsidi, dan narkoba—terus mengalir ke kantong para elit, tragedi dan ketidakadilan akan terus berulang. Kejahatan tetap tumbuh subur, dan para penambang kecil, yang terpaksa bertahan hidup dengan cara apapun, tetap menjadi korban utama dari sistem yang korup ini.
(Red/Tim)



.png)
Posting Komentar untuk " PETI, Mafia Minyak, dan Narkoba di Ketapang: Hukum Seakan Bisa Diatur"