Sejarah Kopi di Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam




Oleh Firdaus – Walinagari Bukik Batabuah

Agam,30 Agustus 2025 - Bukik Batabuah di Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, bukan hanya dikenal dengan panorama alamnya yang indah, adat dan budaya yang kuat, tetapi juga sebagai salah satu daerah yang memiliki sejarah panjang dalam produksi kopi. Tradisi menanam kopi di nagari ini bukanlah cerita baru. Dari penuturan para orang tua dan bukti yang masih dapat kita saksikan hari ini, kopi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bukik Batabuah sejak ratusan tahun lalu.

Di sejumlah kawasan perbukitan dan perkebunan tua, masih dapat ditemukan batang-batang kopi yang besar dan kokoh, yang jika diperkirakan usianya telah mencapai ratusan tahun. Keberadaan pohon-pohon tua ini menjadi saksi bisu bahwa kopi sudah ditanam sejak masa nenek moyang, jauh sebelum tren kopi modern menjadikan minuman ini bagian dari gaya hidup global.

Bukti lain yang memperkuat bahwa kopi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Bukik Batabuah adalah adanya daerah-daerah kecil yang hingga kini masih dikenal dengan nama Parak Kopi dan Parak Kawa. Penamaan wilayah dengan merujuk pada kopi ini menunjukkan betapa pentingnya tanaman kopi dalam sejarah sosial-ekonomi nagari. Nama tempat tidaklah lahir tanpa sebab, melainkan menjadi catatan kolektif masyarakat tentang apa yang pernah menjadi sumber kehidupan mereka.

Sejarah Kopi di Minangkabau dan Indonesia

Secara umum, sejarah kopi di Indonesia berawal pada awal abad ke-17. Pada masa itu, Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) membawa bibit kopi Arabika dari Yaman ke Batavia (Jakarta). Dari Batavia, kopi menyebar ke Jawa, lalu ke berbagai daerah di Sumatera, termasuk Minangkabau.

Kopi kemudian menjadi salah satu komoditas utama dalam sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang diberlakukan Belanda pada abad ke-19. Di Sumatera Barat, kopi ditanam di daerah dataran tinggi yang sejuk, termasuk di wilayah Agam. Hal ini membuat kopi menjadi bagian penting dari sejarah ekonomi masyarakat Minangkabau.

Kopi Bukik Batabuah: Warisan, Identitas, dan Harapan Baru

Bagi masyarakat Bukik Batabuah, kopi tidak sekadar tanaman perkebunan. Ia adalah warisan. Dari generasi ke generasi, kopi ditanam di ladang dan kebun, dirawat dengan cara tradisional, lalu dipetik, dikeringkan, dan diolah untuk menjadi minuman yang menemani hari-hari masyarakat nagari. Tidak heran jika hampir di setiap rumah tangga, kopi selalu tersedia di tungku, disajikan untuk tamu, dan menjadi simbol keramahan orang Minang.

Selain itu, sejarah kopi di Bukik Batabuah juga tidak bisa dilepaskan dari peran kopi sebagai penopang ekonomi masyarakat. Sebelum tanaman hortikultura seperti cabai dan sayur mayur berkembang, kopi menjadi komoditas utama yang diperjualbelikan. Petani menjual hasil kebunnya ke pasar-pasar tradisional di sekitar Agam dan Bukittinggi, bahkan ada yang menembus pasar luar daerah.

Hari ini, kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada masyarakat serta para petani Bukik Batabuah yang kembali menanam kopi. Data terakhir menunjukkan bahwa sudah lebih dari 11 hektare lahan ditanami kopi, dan masih ada beberapa kawasan lain yang berpotensi besar untuk dikembangkan. Bahkan, sejumlah titik memiliki daya tarik alam yang indah dan sangat cocok dijadikan wisata kopi—di mana pengunjung dapat menyusuri kebun, belajar mengolah kopi tradisional, sekaligus menikmati secangkir kopi hangat sambil menatap panorama kaki Gunung Marapi.

Kopi dan Tebu: Perpaduan Rasa Bukik Batabuah

Selain kopi, Bukik Batabuah juga dikenal memiliki perkebunan tebu yang sangat luas. Tebu telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, diolah menjadi gula aren, minuman tradisional, hingga pelengkap kebutuhan sehari-hari.

Inilah kekayaan ganda nagari: pahitnya kopi berpadu dengan manisnya tebu. Perpaduan dua komoditas ini bukan hanya simbol keseimbangan rasa, tetapi juga bisa menjadi ciri khas unik Bukik Batabuah. Bayangkan wisatawan menikmati coffee journey sekaligus sugarcane experience—menyeduh kopi khas Bukik Batabuah dengan manis alami dari tebu nagari. Ini adalah peluang besar untuk membangun branding: “Bukik Batabuah, Nagari Kopi dan Tebu”.

Kopi sebagai Produk Unggulan Nagari

Kopi Bukik Batabuah memiliki peluang besar untuk menjadi produk unggulan nagari. Potensi ini tidak hanya dari sisi pertanian, tetapi juga pariwisata dan ekonomi kreatif. Dengan branding yang tepat, kopi Bukik Batabuah bisa menjadi ikon kebanggaan, sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Festival kopi, pelatihan barista lokal, hingga paket wisata edukasi kopi-tebu adalah peluang nyata yang bisa diwujudkan.

Sebagai Walinagari, saya percaya bahwa kopi dapat kembali menjadi lambang kejayaan Bukik Batabuah, baik sebagai komoditas unggulan maupun sebagai identitas kultural. Kita memiliki warisan sejarah, tanah yang subur, petani yang bersemangat, dan masyarakat yang peduli. Jika semua potensi ini kita satukan, maka kopi Bukik Batabuah tidak hanya hadir di rumah-rumah warga, tetapi juga bisa dikenal di tingkat nasional bahkan internasional.

Kopi Bukik Batabuah adalah cerita tentang warisan, ketekunan, dan identitas. Ia tumbuh seiring dengan perjalanan nagari, dan akan terus menjadi bagian dari masa depan kita jika dijaga, dikembangkan, dan dipromosikan dengan baik.(Mtj)

Posting Komentar untuk "Sejarah Kopi di Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam"

Ads :