Pontianak – Puluhan warga Gang Wak Sidik, Jalan Perdana, Kelurahan Bansir Darat, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kalimantan Barat pada Minggu, 7 September 2025 pagi. Warga berbondong-bondong memasang plang penanda di atas sebidang lahan seluas sekitar 9 hektar.
Plang tersebut bertuliskan bahwa tanah itu merupakan milik masyarakat setempat berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) atas nama M. Sidik bin Bacok tahun 1957, yang kemudian diteruskan kepada anaknya, almarhum Jumadi M. Sidik, melalui surat garapan (SKT) pada 1981, 1983, dan 1985.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk penolakan warga terhadap klaim kepemilikan tanah oleh pihak lain. Warga menegaskan, mereka telah menempati dan menggarap lahan di jalur 1–15 kawasan Gang Amalia sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebagian sudah mendirikan rumah serta melakukan transaksi jual beli resmi sejak 2013.
Keresahan warga muncul setelah dua orang bernama Yusi dan Viktor, mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Pontianak. Gugatan tersebut ditujukan kepada tiga warga setempat, yakni Lilis, Tri Yugo, dan Usman. Namun, menurut warga, klaim itu justru menyeret lebih luas, mencakup sekitar 54 kapling tanah dengan total luas 11.656 meter persegi.
Selain itu, seorang warga lain bernama Tan Gunawan juga diduga mengklaim sebagian lahan di kawasan yang sama. Padahal, berdasarkan keterangan masyarakat, lahan tersebut merupakan warisan dari almarhum Wak Sidik sejak 1957
Ketua Forum Pemilik Tanah Gang Amaliah, Abdul Haqi, menegaskan kepada yang mengklaim dan melakukan pemagaran di sebidang tanah di Gg Amalia untuk menunjukan surat-suratnya kepada masyarakat
“Tolong kepada Tan Gunawan dan H. Aseng serta Viktor Birin tunjukan itu surat-suratnya kepada masyarakat semuanya, agar masyarakat tahu apakah benar tanah yang selama ini mereka kuasai sejak tahun 2013 adalah milik mereka atau bukan,” ujarnya.
Menurutnya, lahan di kawasan tersebut telah dibeli secara sah sejak 2013 dan penguasaan tanah pun sudah diketahui serta disahkan oleh pihak RT, kelurahan, hingga kecamatan. Namun, hingga kini belum ada kejelasan dari pihak yang disebut-sebut bersengketa terkait status tanah tersebut.
Abdul Haqi menambahkan, warga sering dilaporkan ke aparat dengan tuduhan merusak pagar hingga melakukan perampasan lahan.
“Padahal kami hanya mengelola tanah kami sendiri. Jangan rakyat kecil selalu diposisikan bersalah,” tegasnya.
Kuasa Hukum warga, Dr. Herman Hofi Munawar, menyampaikan protes keras terhadap dugaan terbitnya sejumlah sertifikat di atas tanah yang sudah lama mereka kuasai.
Dalam pernyataannya, Dr. Herman menegaskan bahwa masyarakat telah menempati dan menggarap lahan tersebut sejak tahun 1957. Bukti kepemilikan awal juga telah diperkuat dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) sejak 1982. Bahkan, di atas lahan itu kini telah berdiri rumah serta tanah tumbuh yang menjadi bagian dari kehidupan warga.
“Tanah ini sudah dikuasai masyarakat cukup lama. Aneh sekali, tiba-tiba muncul sertifikat atas nama orang lain. Bahkan ada beberapa sertifikat di atas lahan ini,” tegas Dr. Herman di hadapan warga.
Herman Hofi juga mempertanyakan kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dinilai lalai hingga memunculkan sertifikat ganda. Menurutnya, masyarakat kecil kerap dipinggirkan dalam persoalan tanah, sementara mereka yang memiliki modal dan akses kekuasaan justru sering dimenangkan.
“Bagaimana ceritanya bisa ada sertifikat di atas tanah yang sudah dikuasai rakyat sejak puluhan tahun? Kami meminta BPN transparan dan serius menuntaskan kasus ini,” ujarnya.
Dr. Herman juga menyinggung persoalan kriminalisasi warga. Ia menyebut ada masyarakat yang dilaporkan ke Polda Kalbar hanya karena memprotes pagar yang dibangun pihak lain, yang justru menutup akses jalan warga.
“Masyarakat kecil dipanggil-panggil terus oleh pihak kepolisian, ditakuti supaya menyerahkan lahannya. Ini tidak benar. Rakyat kecil tidak boleh terus-menerus dimarginalkan,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa masyarakat akan terus memperjuangkan hak atas tanah tersebut. Ia juga meminta pihak berwenang, baik pemerintah maupun aparat hukum, untuk benar-benar meneliti keabsahan sertifikat yang muncul belakangan.
“Kami akan berjuang sekuat tenaga. Hak rakyat tidak boleh dirampas. Jangan sampai masyarakat dikriminalisasi. Ini harus dituntaskan secara jelas dan sesuai hukum,” tutupnya.
Di tengah polemik ini, seorang warga bernama Ani menyampaikan langsung harapannya agar pemerintah turun tangan. Ia menilai klaim sepihak yang disebut dilakukan “Aseng” dan rekan-rekannya merupakan bentuk penindasan.
“Tanah saya di Jalan Perdana ini dirampas. Saya minta keadilan dari Bapak Presiden Prabowo Subianto, juga Pak Gubernur dan Wali Kota Pontianak. Tolong tengok tanah kami ini, apakah pantas diambil orang lain? Kami sudah menggarap sejak lama, bahkan membersihkan lahan sendiri,” kata Ani.
Ani menambahkan, kini ia tidak bisa membangun rumah karena lahan tersebut sudah dipagari pihak lain. “Kami hanya ingin keadilan. Jangan sampai rakyat kecil dikriminalisasi, padahal ini tanah kami,” ujarnya dengan nada tegas.
Sumber : Dr.Herman Hofi Munawar, SH
(Red/Am)



.png)
Posting Komentar untuk "Sengketa Agraria di Pontianak Tenggara: Warga Minta Presiden hingga Aparat Hukum Turun Tangan!"