“Kembang Desa yang Pulang ke Surga”

                (foto Ai) 

Kenangan tentang Ibu
Aku tidak memiliki banyak ingatan tentang wajah dan suara ibuku. Usia satu tahun delapan bulan terlalu dini untuk menyimpan kenangan. Namun, dari cerita nenek, tetangga, dan para saudara, mengenal sosok ibuku dengan cara yang lain—melalui kisah, doa, dan jejak kebaikan yang ia tinggalkan.

Mereka berkata, ibuku adalah perempuan yang cantik. Kulitnya kuning langsat, rambutnya panjang luruh terurai, hingga ia dikenal sebagai kembang desa. 

Cantik bukan hanya rupa, tetapi juga budi. Ia pendiam, ramah, dan selalu menebarkan keteduhan bagi siapa pun yang mengenalnya.

Ibuku pintar mengaji. 

Suara bacaannya indah, hingga sering tampil dalam pentas qiroah, melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penuh penghayatan. Dari bibirnya, ayat suci mengalir seperti doa yang hidup—menjadi saksi betapa dekatnya ia dengan Tuhannya.

Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara: tiga perempuan dan satu laki-laki. Namun takdir keluarga kami begitu berat. Satu per satu mereka dipanggil lebih dulu. 
Adik laki-laki yang paling bungsu meninggal di usia muda. Dua adik perempuan ibuku juga wafat saat anak-anak mereka masih kecil. Kini, dari keluarga ibuku, yang tersisa hanyalah kami para cucu—mewarisi cerita dan kenangan.

Orang tua ibuku, kakek dan nenek, dikenal sebagai orang terpandang pada zamannya. Di saat rumah-rumah tetangga masih berdinding bambu, rumah kakekku sudah berdiri kokoh seperti rumah gedung, berjendela kaca. 

Di dalamnya tersimpan perabotan perunggu tempat air, lemari pajangan serta keris-keris pusaka yang menghiasi sudut rumah, menjadi simbol martabat dan sejarah keluarga.

Kakekku seorang pedagang sekaligus seniman. Dari tangannya lahir karya, dan dari jiwanya mengalir kecintaan pada seni. Mungkin dari sanalah aku mewarisi kegemaranku melukis dan membuat patung ,sebuah jejak yang tak terlihat, namun terasa mengikat lintas generasi. Ia juga mahir berbahasa Belanda dan Jepang, namun yang paling ia kuasai adalah bahasa Belanda, tanda luasnya wawasan di zamannya.

Kini kakek dan nenek telah tiada. Rumah yang dahulu paling megah, yang penuh cerita dan tawa, sudah diruntuhkan. Yang tersisa hanyalah puing-puing dan sebidang tanah yang ditumbuhi rumput liar, terbengkalai dalam diam. Namun bagiku, di situlah berdiri istana kenangan—tempat asal sebuah keluarga dan cinta yang tak pernah benar-benar hilang.
Aku berdiri hari ini sebagai anak yang tumbuh tanpa ibu, namun tidak tanpa kasih. Karena dari cerita tentang ibuku, aku belajar tentang kelembutan. Dari kisah kakek dan nenek, aku belajar tentang keteguhan. Dan dari kepergian mereka semua, aku belajar tentang arti kehilangan dan doa.
Bersama saudara-saudaraku, aku hanya bisa menghadiahkan doa: Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kakek, nenek, ibuku, dan saudara-saudara ibuku. Semoga mereka semua mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, dilapangkan kuburnya, dan dipertemukan kembali dalam surga yang penuh cahaya.
Ibu, meski aku tak sempat mengenalmu, namun namamu hidup dalam setiap doa, dan cintamu terasa dalam setiap langkah hidupku.

Posting Komentar untuk "“Kembang Desa yang Pulang ke Surga”"

Ads :