Pontianak - Viral!,Mengenai isu adanya dugaan “komando utama” dalam pelaksanaan kegiatan Napak Tilas kembali mencuak. Sejumlah laporan menyebut dua nama Martin dan Kamboja sebagai figur sentral dalam pengendalian kegiatan tersebut. Namun, Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, mengingatkan agar publik tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan adanya penyimpangan kekuasaan atau motif pribadi di balik peran tersebut.
Menurut Herman, dalam kegiatan yang bersifat historis, simbolik, dan melibatkan banyak aktor, istilah “komando” sering kali muncul sebagai konsekuensi dari kebutuhan akan kendali yang kuat.
Terlebih, Napak Tilas bukan sekadar agenda seremonial, melainkan kegiatan yang sarat nilai, kepentingan, dan potensi gesekan di lapangan.
“Kegiatan yang kompleks meniscayakan adanya pusat kendali. Tanpa pengawasan yang ketat, risiko penyimpangan arah, salah urus, bahkan kegagalan pelaksanaan justru lebih besar,” kata Herman saat dimintai keterangan, Sabtu, 12 Desember 2025.
Herman menilai, peran yang selama ini disebut sebagai “komando” bisa saja lebih tepat dimaknai sebagai fungsi monitoring dan pengendalian operasional, bukan penguasaan agenda untuk kepentingan tertentu.
Dalam praktiknya, fungsi semacam ini kerap berjalan dengan gaya tegas dan terpusat, yang dari luar terlihat otoriter, namun justru dibutuhkan untuk menjaga disiplin organisasi.
Investigasi awal terhadap rangkaian kegiatan Napak Tilas menunjukkan bahwa sejak tahap perencanaan hingga hari pelaksanaan, kegiatan tersebut berjalan relatif tertib dan sesuai agenda. Tidak ditemukan indikasi terbuka adanya penyimpangan tujuan, pengalihan kepentingan, maupun konflik internal yang berujung pada kegagalan acara.
“Fakta bahwa kegiatan dapat berjalan lancar menjadi variabel penting yang tidak bisa diabaikan. Itu menunjukkan adanya pengendalian yang bekerja,” ujar Herman.
Ia menambahkan, jika benar Martin dan Kamboja berperan aktif dalam pengawasan, maka hal itu justru patut diuji dari sisi akuntabilitas dan hasil, bukan langsung dicurigai sebagai praktik dominasi personal.
Dalam perspektif hukum dan kebijakan publik, legitimasi sebuah komando tidak ditentukan oleh siapa pelakunya, melainkan oleh apakah tindakan tersebut melanggar aturan, menyimpang dari tujuan, atau merugikan pihak lain.
Herman menegaskan, hingga saat ini tidak terdapat fakta yang menunjukkan bahwa pengendalian kegiatan Napak Tilas digunakan untuk kepentingan di luar agenda yang telah disepakati. Karena itu, spekulasi mengenai motif personal dinilai prematur dan berpotensi mengaburkan substansi.
“Yang perlu diuji adalah dampak dan hasilnya. Selama tujuan bersejarah Napak Tilas tercapai dan tidak ada kerugian publik, maka narasi penyimpangan harus dibuktikan, bukan diasumsikan,” tegasnya.
Herman mengingatkan bahwa jurnalisme dan publik seharusnya menempatkan fokus pada apa yang terjadi di lapangan, bukan sekadar pada siapa yang terlihat mengendalikan. Investigasi, menurutnya, harus bertumpu pada data, kronologi, dan dampak nyata, bukan pada tafsir sepihak terhadap istilah ‘komando’.
Kegiatan Napak Tilas yang akhirnya terlaksana dengan baik, lanjut Herman, menjadi fakta yang berdiri sendiri. Fakta tersebut menuntut pembacaan yang lebih hati-hati dan objektif, terutama ketika isu pengendalian mulai ditarik ke arah tudingan personal tanpa dasar yang cukup.
Sumber/Pengamat Kebijakan Publik.
(Red/Tim)



.png)
Posting Komentar untuk "Napak Tilas Berjalan Tertib, Pengamat Tegaskan Legitimasi Komando Diukur dari Hasil dan Dampak!"