PONTIANAK, Kalimantan Barat – Peristiwa pengeroyokan brutal yang menimpa tujuh warga telah melampaui batas konflik biasa. Ini bukan lagi soal sengketa tanah, melainkan soal keberanian sekelompok orang menantang hukum secara terbuka. Pola kejadian yang terstruktur, jumlah pelaku yang banyak, serta korban yang disasar secara jelas memunculkan dugaan kuat bahwa kekerasan tersebut tidak terjadi secara spontan, melainkan berencana.
Di titik inilah, inisial J menjadi sorotan utama publik. Bukan sebagai vonis, tetapi sebagai figur yang patut diperiksa secara serius. Sebab kekerasan berjamaah tidak pernah lahir tanpa arah, tanpa komando, dan tanpa keyakinan bahwa pelakunya merasa aman dari jerat hukum.
Bukan Ledakan Emosi, Tapi Dugaan Aksi Terencana
Fakta-fakta lapangan menimbulkan pertanyaan yang sulit dibantah:
bagaimana mungkin sekelompok orang datang bersamaan, melakukan pemukulan bersama, merusak, mengintimidasi, lalu meninggalkan korban yang terluka—tanpa adanya persiapan sebelumnya?
Kekerasan seperti ini bukan reaksi sesaat, melainkan mencerminkan niat dan kesadaran penuh. Terlebih ketika korban bukan satu orang, melainkan tujuh warga, termasuk perempuan dan lansia. Publik menilai, ini adalah ciri klasik penganiayaan berencana yang dibungkus dalih sengketa.
Nama terduga berinisial J pun terus disebut dalam berbagai kesaksian dan percakapan publik. Pertanyaan yang mengemuka sederhana namun mendasar:
apakah J hanya mengetahui, turut serta, atau justru berada di lingkar penggerak?
Hukum Tegas: Sengketa Perdata Tak Pernah Menghalalkan Kekerasan
Dalam perspektif hukum pidana, klaim hak atas tanah tidak memiliki nilai pembenar sedikit pun terhadap pemukulan dan pengeroyokan. Sengketa tanah adalah ranah perdata yang penyelesaiannya ada di pengadilan, bukan di tangan massa.
Secara yuridis, peristiwa ini berpotensi kuat memenuhi unsur:
Pasal 170 KUHP – kekerasan secara bersama-sama di muka umum
Pasal 351 KUHP – penganiayaan
Pasal 353 KUHP – penganiayaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu
Pasal 335 KUHP – intimidasi
Pasal 55 KUHP – penyertaan, termasuk pihak yang menyuruh atau menggerakkan
Jika unsur berencana terbukti, maka perkara ini bukan pidana ringan, melainkan kejahatan serius dengan ancaman hukuman berat. Dalam konteks ini, peran siapa pun—termasuk inisial J—harus dibuka secara terang.
Klarifikasi Tak Menghapus Luka dan Trauma
Upaya klarifikasi yang disampaikan pihak terduga pelaku tidak serta-merta menghapus fakta kekerasan. Klarifikasi bukan alat penghapus luka, bukan pula pengganti proses hukum. Tanpa penegakan hukum yang tegas, klarifikasi justru dipersepsikan publik sebagai narasi pembenaran.
Hukum tidak bekerja berdasarkan siapa paling keras berbicara, melainkan siapa bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tokoh Masyarakat: Negara Tak Boleh Ragu
Sejumlah tokoh masyarakat dan pemerhati hukum Kalbar menyampaikan sikap tegas. Mereka menilai, jika dugaan penganiayaan berencana ini tidak ditangani serius, negara sedang mengirim pesan berbahaya kepada publik.
> “Kalau kekerasan berencana dibiarkan, itu artinya hukum kalah sebelum bertarung,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Aktivis hukum pidana menambahkan, pemeriksaan harus menyentuh aktor intelektual, bukan berhenti pada pelaku lapangan semata.
> “Siapa yang menggerakkan, menyuruh, atau membiarkan—itu yang harus dibuka. Jangan ada satu pun inisial yang kebal,” ujarnya.
Korban Menunggu, Publik Mengunci Pengawasan
Di sisi lain, para korban masih menanggung luka fisik dan trauma psikologis. Rasa aman mereka sebagai warga negara telah direnggut secara brutal. Keluarga korban meminta perlindungan nyata dan jaminan bahwa kekerasan tidak akan terulang.
Sementara itu, publik telah mengambil sikap: mengawasi dengan ketat setiap langkah aparat. Kasus ini tidak lagi bersifat lokal. Ia telah menjadi cermin keberanian hukum di hadapan premanisme berkedok sengketa.
Garisnya Sudah Jelas
Kekerasan terjadi
Korban nyata
Dugaan perencanaan menguat
Inisial J disebut dan disorot publik
Maka tidak ada ruang abu-abu.
Hukum harus berjalan, atau wibawa negara runtuh.
Kasus ini adalah ujian:
apakah hukum berani menyentuh dugaan penganiayaan berencana,
atau justru mundur di hadapan kekerasan berjamaah?
Publik sudah menunggu terlalu lama.
Kini hukum harus menjawab—dengan tindakan, bukan kata-kata.
Tim : Investigasi. (Red/Am)



.png)
Posting Komentar untuk "Sengketa Tanah Dijadikan Tameng Kekerasan: Dugaan Penganiayaan Berencana Menyeret Inisial J, Publik Menuntut Hukum Tak Gentar"