Bamus: Lembaga Legislasi atau Formalitas Seremonial??



jejakkriminal.net. #Opini 07 Agustus 2025 –BAMUS (Badan Musyawarah) atau dalam konteks pemerintahan nagari di Sumatera Barat disebut Bamus Nagari, adalah lembaga legislatif di tingkat nagari yang berperan sebagai mitra dan pengawas pemerintah nagari (wali nagari).

Tugas dan fungsi BAMUS Nagari berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama Permendagri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa, yang dijadikan acuan umum, serta disesuaikan dengan kekhususan Nagari di Sumbar:

1. Membahas dan menyepakati rancangan peraturan nagari (Perna) bersama Wali Nagari.

2. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat nagari.

3. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan nagari.

4. Mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan nagari.

5. Melaksanakan musyawarah nagari untuk membahas kebijakan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan kemasyarakatan.

Keberadaan Bamus Nagari sebagai lembaga perwakilan masyarakat di tingkat nagari kembali menjadi sorotan. Di tengah maraknya program pembangunan berbasis dana desa yang menembus miliaran rupiah, publik mulai mempertanyakan sejauh mana fungsi legislasi, pengawasan, dan aspirasi publik yang diemban oleh Bamus benar-benar dijalankan secara nyata.

Dalam berbagai kasus, Bamus dituding hanya menjadi stempel kebijakan Wali Nagari, tanpa kontrol dan evaluasi yang berarti.

Rangkap Jabatan dan Minim Transparansi

Masalah lain yang mencuat adalah dugaan rangkap jabatan, kedekatan personal antara anggota Bamus dan aparatur nagari, serta minimnya keterlibatan Bamus dalam pengawasan keuangan. Padahal, berdasarkan Permendagri Nomor 110 Tahun 2016, Bamus berfungsi sebagai penyeimbang kekuasaan eksekutif nagari, memiliki kewenangan legislasi, pengawasan, hingga penyerap aspirasi masyarakat. Namun kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Banyak anggota Bamus bahkan tidak memahami tupoksi secara utuh.

Lemahnya Fungsi Advokasi dan Mediasi

Seharusnya, ketika masyarakat menghadapi persoalan seperti konflik tanah ulayat, dugaan penyalahgunaan dana desa, atau ketidakadilan distribusi bantuan sosial, Bamus hadir sebagai advokat publik. Sayangnya, dalam banyak kasus, Bamus justru bungkam atau terkesan tak ingin "berurusan".

Pakar pemerintahan lokal dari Universitas Negeri Padang, Dr. Syahril Marwan, menyebut kondisi ini sebagai “krisis identitas lembaga “Bamus di beberapa nagari terjebak dalam relasi pasif. Mereka tidak dididik sebagai parlemen mini yang aktif, tapi sebagai pelengkap administrasi," tegasnya.

Perlu Direformasi?

Penguatan kapasitas anggota Bamus, pembekalan hukum desa/nagari, serta sistem keterbukaan informasi publik yang ketat menjadi tuntutan utama jika lembaga ini ingin tetap relevan. Warga berharap Bamus bukan lagi hanya simbol perwakilan, tetapi benar-benar menjadi wakil suara rakyat di tingkat akar rumput.

Editor: TL



Posting Komentar untuk " Bamus: Lembaga Legislasi atau Formalitas Seremonial??"

Ads :