Jakarta, 31 Agustus 2025 — Indonesia kembali diguncang gelombang protes nasional yang menelan korban jiwa dan meluas ke sejumlah kota besar. Pemicu utamanya adalah kenaikan tunjangan anggota DPR hingga puluhan juta rupiah per bulan, di tengah kebijakan ekonomi yang dinilai menekan rakyat.
Di Jakarta, Bandung, hingga Makassar, demonstrasi berubah ricuh. Tercatat sedikitnya empat orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Sejumlah gedung pemerintah terbakar, jalan raya lumpuh, dan aparat kepolisian bersiaga penuh dengan kendaraan taktis.
“Ini bukan sekadar protes tentang uang. Ini adalah kemarahan rakyat terhadap simbol kesenjangan. Elit politik bergelimang fasilitas, sementara rakyat harus mengencangkan ikat pinggang,” kata pengamat politik Hendri Satrio.
Di tengah krisis ini, langkah Presiden Prabowo Subianto justru memperluas peran militer di ranah sipil memantik perdebatan sengit. Sejak awal tahun, lebih dari 100 batalion dikerahkan untuk mengisi sektor non-militer, dengan target 500 batalion baru dalam lima tahun ke depan.
“Demokrasi Indonesia sedang berada di jalur berbahaya. Kembalinya militer ke ranah sipil membuka pintu bagi praktik dwifungsi gaya Orde Baru,” ujar Shafira Anindya, analis hubungan internasional Universitas Indonesia.
Kebijakan ini diperkuat oleh revisi UU TNI yang memungkinkan perwira aktif duduk di perusahaan negara hingga lembaga yudikatif—sebuah langkah yang dinilai para pengamat dapat mengikis prinsip sipil dalam demokrasi.
Kemarahan rakyat tak lepas dari beban ekonomi yang kian menekan. PPN naik, subsidi energi dipangkas, dan lapangan kerja menyempit. Dampaknya terasa langsung di meja makan keluarga kelas menengah ke bawah.
Media sosial menggema dengan tagar #KaburAjaDulu, ekspresi frustrasi generasi muda yang merasa masa depan mereka tak lagi pasti. “Harga semua naik, kerja susah, sementara DPR malah dapat bonus. Rasanya lebih baik pergi,” tulis seorang mahasiswa dalam unggahan yang viral.
Dinamika elit tak kalah panas. Di Senayan, kekuatan politik terbagi menjadi tiga poros: penguasa baru (Gerindra/Prabowo), mantan penguasa (PDIP), dan “penguasa hybrid” yang masih dikaitkan dengan pengaruh politik mantan Presiden Joko Widodo.
Kondisi ini menciptakan stabilitas semu: pemerintahan tampak kuat, tapi ruang oposisi kian menyempit. Kontrol terhadap kekuasaan melemah, membuka peluang lahirnya otoritarianisme gaya baru.
Pemerintah berupaya meredakan situasi dengan janji investigasi atas korban sipil dalam protes serta pemberian grasi kepada sejumlah tahanan politik. Namun langkah itu dinilai belum menyentuh akar masalah.
“Investigasi tanpa transparansi hanya akan menambah ketidakpercayaan publik,” tegas Hendri Satrio.
Gelombang protes masih bergulir, jalanan masih bergemuruh, dan pertanyaan besar kini menggantung: mampukah Indonesia menjaga demokrasi, atau justru meluncur ke arah kemunduran.
Penulis: Taqin Lubis



.png)
Posting Komentar untuk "Gelombang Protes Dan Bayang-bayang Militer, Demokrasi Indonesia Diuji"