Dugaan Kartel Pungli Seragam Sekolah di Nganjuk: Kepsek dra. Yatini dan Gaguk (MKKS) Dituding Jadi Dalang Pungutan Rp1,5 Juta per Siswa



Nganjuk, Jejak Kriminal.net
Dunia pendidikan kembali tercoreng dengan aroma busuk pungutan liar berkedok penjualan seragam sekolah. Dugaan praktik yang merugikan wali murid ini menyeruak di salah satu sekolah negeri yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dra. Yatini, M.Si. Ironisnya, kebijakan yang dianggap sebagai "aturan wajib tak tertulis" itu berjalan mulus bertahun-tahun dengan dalih kebutuhan standar sekolah.

Fakta di lapangan menunjukkan, setiap tahun orang tua siswa dipaksa merogoh kocek antara Rp 1.250.000 hingga Rp 1.500.000 hanya untuk membeli seragam sekolah. Nominal itu bervariasi tergantung ukuran badan siswa serta perbedaan antara seragam laki-laki dan perempuan. Perbedaan harga seolah-olah jadi justifikasi, padahal esensinya tetap: bisnis seragam dikelola secara sistematis untuk menghisap darah orang tua murid.

Pendidikan Gratis, Tapi Seragam Dipatok Mahal, Program wajib belajar yang dicanangkan pemerintah sejatinya menghapus segala bentuk pungutan liar, apalagi di sekolah negeri. Namun, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Seragam yang semestinya bisa dibeli bebas di pasaran, dipaksa hanya boleh dipesan melalui sekolah dengan harga selangit.

Tak hanya itu, mekanisme pembelian seragam pun terkesan monopoli. Wali murid tidak diberi pilihan untuk mencari alternatif lain. Alhasil, para orang tua terjerat dalam sistem "belanja wajib" yang jelas-jelas melanggar aturan, menyalahi semangat pendidikan gratis, dan mengarah pada praktik korupsi berjamaah.

Nama Dra. Yatini, M.Si, sebagai kepala sekolah, kini menjadi sorotan tajam. Dalam posisinya, ia ditengarai bukan sekadar mengetahui, tetapi juga mengatur pola permainan distribusi seragam. Harga yang melambung tinggi jelas tidak sesuai dengan standar harga pasar maupun HSPK (Harga Satuan Pokok Kegiatan) daerah.

Tak pelak, perannya dipertanyakan, Apakah kebijakan ini legal ?, Siapa vendor penyedia seragam?, Mengapa tidak ada transparansi harga ?, Mengapa wali murid tidak boleh mencari sendiri seragam yang lebih murah ?, Pertanyaan-pertanyaan itu seakan menampar wajah pendidikan negeri yang semestinya berpihak pada rakyat kecil.

Lebih jauh, aroma keterlibatan Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Dra. Gaguk Wiyono Heru, juga ikut menyeruak. Sebagai pimpinan forum kepala sekolah, Gaguk dituding mengetahui dan bahkan diduga memberi restu atas praktik "bisnis seragam" yang kian merajalela.

Peran MKKS yang seharusnya menjadi pengawas mutu pendidikan justru berubah bak “kartel seragam”. Alih-alih melindungi hak-hak siswa dan orang tua, forum ini justru diduga melanggengkan praktik pungli yang mencekik.

Dengan jumlah siswa baru ratusan hingga ribuan setiap tahun, bisa dibayangkan berapa pundi rupiah yang terkumpul. Jika 1 siswa dikenai biaya Rp 1,5 juta, dan jumlah siswa baru mencapai 300 orang, maka omzet tahunan bisa tembus Rp 450 juta hanya dari bisnis seragam. Itu baru dari satu sekolah, belum lagi sekolah-sekolah lain di bawah koordinasi MKKS.

Dengan dalih keseragaman dan kualitas bahan, para kepala sekolah diduga bermain mata dengan penyedia jasa. Selisih harga pasar dengan harga jual ke wali murid menguap entah ke mana, meninggalkan jejak kuat dugaan praktik pungli dan penyalahgunaan jabatan.

Keluhan wali murid pun kerap terkubur dalam diam. Takut anaknya jadi sasaran diskriminasi di sekolah, para orang tua lebih memilih pasrah. Aparat penegak hukum yang semestinya bertindak tegas seolah-olah menutup mata. Padahal, praktik ini sudah jelas menyalahi Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah yang melarang pungutan wajib.

Pertanyaan besar pun muncul: sampai kapan pungutan seragam mahal ini dibiarkan? Apakah kepala sekolah dan MKKS akan terus berlindung di balik dalih "kesepakatan musyawarah"? Ataukah aparat penegak hukum berani membongkar mafia seragam yang sudah lama mengakar ?

Di tengah jargon pendidikan gratis, kenyataan di lapangan justru semakin memuakkan. Orang tua miskin harus meminjam sana-sini demi membeli seragam, sementara para pengelola sekolah diduga menikmati keuntungan di balik sistem gelap yang mereka bangun.

Jika benar dugaan ini terbukti, maka kepala sekolah Dra. Yatini dan Ketua MKKS Dra. Gaguk Wiyono Heru bisa dicatat sebagai aktor yang mengkhianati semangat pendidikan nasional. Pendidikan negeri seharusnya memerdekakan, bukan memperbudak lewat praktik komersialisasi seragam.red

Posting Komentar untuk "Dugaan Kartel Pungli Seragam Sekolah di Nganjuk: Kepsek dra. Yatini dan Gaguk (MKKS) Dituding Jadi Dalang Pungutan Rp1,5 Juta per Siswa"

Ads :