Error in Persona! Pasal JPU ke Ihyatour Dipandang Absurd, Unsur Pidana Gugur



Pontianak – Sidang perkara Travel Umroh Ihyatour kembali mencuri perhatian publik setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjatuhkan tuntutan 4 tahun penjara. Namun, alih-alih dianggap kokoh, tuntutan itu justru dinilai sebagai error in persona—salah alamat, keliru dalam penerapan hukum, dan tidak relevan dengan fakta persidangan.


Kuasa hukum Ihyatour, Eko Maulana, SH, mengkritik keras tuntutan tersebut. Menurutnya, langkah JPU bukan sekadar salah, tetapi mengarah pada kriminalisasi terang-terangan terhadap penyelenggara perjalanan umroh resmi yang berizin.


> “Jaksa menuntut 4 tahun, tapi pasal yang dipakai keliru. Ini jelas-jelas error in persona. Bagaimana mungkin PPIU resmi berizin Kemenag diperlakukan seolah biro ilegal? Ini bukan sekadar kekeliruan, tapi pemaksaan hukum yang berbahaya,” tegas Eko.


Unsur Pidana Tidak Terpenuhi


Sejak awal, dakwaan penipuan (Pasal 378 KUHP) dan penggelapan (Pasal 372 KUHP) dianggap tidak berdasar.


Pasal 378 KUHP: Penipuan mensyaratkan adanya tipu muslihat. Faktanya, jamaah menyerahkan uang dengan sadar melalui perjanjian resmi. Tidak ada tipu daya, tidak ada kebohongan.


Pasal 372 KUHP: Penggelapan menuntut adanya penguasaan tanpa hak. Justru Ihyatour sebagai PPIU sah berhak mengelola dana jamaah sesuai UU.



“Kalau unsur penipuan dan penggelapan gugur, otomatis tuduhan pidana tidak berdiri. Itu jelas terlihat di persidangan,” jelas Eko.


Maneuver Pasal: Dari KUHP ke UU PIHU


Merasa dakwaan awal rapuh, JPU kemudian berbelok menggunakan Pasal 124 UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh (PIHU). Tetapi, bagi Eko, justru manuver ini semakin mempermalukan logika hukum jaksa.


“Pasal itu berbunyi setiap orang tanpa hak yang menyelenggarakan umroh. Lha, Ihyatour ini PPIU resmi, punya akta, tersertifikasi, dan berizin Kemenag. Artinya, pasal itu tidak relevan. Penggunaan pasal ini absurd dan menabrak logika hukum,” tegasnya.


Tidak Ada Korban, Tidak Ada Kerugian


Eko juga menegaskan, fakta persidangan membuktikan bahwa tidak ada jamaah yang gagal berangkat atau kehilangan uang.


“Kalau ada keterlambatan teknis, itu murni wanprestasi (perdata), bukan pidana. Unsur kerugian tidak terbukti. Jadi kriminalisasi ini makin jelas di depan mata,” katanya.


Kritik Pedas: Jaksa Bangun Rumah di Atas Pasir


Eko menilai, perubahan pasal di tengah jalan justru memperlihatkan keraguan JPU terhadap dakwaannya sendiri.


> “Kalau memang yakin ada penipuan, kenapa harus ganti pasal? Itu bukti dakwaan sejak awal rapuh. Jaksa sedang membangun rumah di atas pasir—mudah runtuh oleh fakta persidangan,” sindirnya.


Menurut Eko, kriminalisasi seperti ini bisa menjadi preseden buruk. “Besok-besok semua PPIU sah bisa dikriminalisasi dengan pasal serupa. Dunia usaha akan hidup dalam ketakutan,” ucapnya.


Harapan untuk Hakim


Kuasa hukum Ihyatour menyerukan agar majelis hakim tetap independen dan objektif.


“Fakta jelas: pasal tidak relevan, unsur pidana gugur, korban tidak ada. Maka Ihyatour sepatutnya dibebaskan dari semua dakwaan,” pungkasnya.


Publik Mendesak: Stop Kriminalisasi


Kasus Ihyatour kini menjadi ujian serius bagi wibawa hukum Indonesia. Publik menyerukan agar hakim berdiri tegak di atas fakta, bukan narasi rapuh JPU.


Karena yang dipertaruhkan bukan hanya nasib satu perusahaan travel umroh, melainkan juga kepastian hukum, rasa keadilan, dan masa depan dunia usaha di negeri ini.


(Red/Am)

Posting Komentar untuk "Error in Persona! Pasal JPU ke Ihyatour Dipandang Absurd, Unsur Pidana Gugur"

Ads :