Uang publik Menguap, Kepala Desa Banyutengah Diambang Jerat Hukum

 


Gresik, 7-09-2025

Selama tiga tahun anggaran (2023–2025), Desa Banyutengah, Kecamatan Panceng, Gresik, tercatat menggelontorkan dana penyertaan modal sebesar Rp50–55 juta per tahun. Totalnya lebih dari Rp150 juta keluar dari kas desa. Namun, uang publik yang semestinya berputar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat itu justru lenyap tanpa jejak.


Tidak ada laporan pertanggungjawaban. Dokumen realisasi, papan informasi, hingga bukti fisik kegiatan sama sekali tidak ditemukan. Anggaran dikelola secara tertutup, mengabaikan asas transparansi yang diwajibkan dalam tata kelola keuangan negara.


Kepala Desa Banyutengah, Fadloli, memilih bungkam. Konfirmasi melalui telepon tak berbalas, dan keberadaannya di kantor desa sulit dilacak. Publik pun menaruh curiga atas hilangnya kejelasan penggunaan anggaran desa.


Sesuai Permendagri No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penyertaan modal hanya dapat dilakukan apabila disetujui melalui musyawarah desa dan dituangkan dalam APBDes, didukung perjanjian kerja sama yang jelas, disertai laporan hasil usaha yang terbuka untuk publik, serta disosialisasikan melalui papan informasi sebagai bentuk transparansi.


Jika mekanisme ini dilanggar, kepala desa berpotensi melanggar UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dengan ancaman satu tahun penjara atau denda Rp5 juta. Lebih jauh, dugaan penyelewengan berpotensi dijerat UU Tipikor dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.


Kasus di Banyutengah memperlihatkan pola klasik korupsi dana desa yang kerap ditemui. Pertama, penyertaan modal fiktif, di mana dana dicatat keluar namun tidak pernah benar-benar disalurkan. Kedua, perusahaan cangkang, yaitu dana disalurkan ke lembaga atau kelompok usaha yang hanya berdiri di atas kertas, dikuasai lingkaran dekat kepala desa.


Ketiga, markup anggaran, dengan nilai penyertaan dimanipulasi jauh di atas kebutuhan riil. Dan terakhir, penggelapan laporan, kewajiban membuat laporan realisasi dan pertanggungjawaban dihapus, sehingga publik tidak pernah tahu ke mana uang mengalir. Pola ini menempatkan kepala desa sebagai aktor sentral yang mengendalikan arus dana, sementara warga desa dibiarkan buta terhadap pemanfaatannya.


Fadloli sebelumnya juga diguncang gelombang protes warga. Ia dituding mempersulit akses mobil siaga desa, yang berujung pada meninggalnya seorang warga sakit karena terlambat mendapat pertolongan medis. Insiden itu semakin memperkuat potret buruk tata kelola kepemimpinannya.


Laporan dugaan penyimpangan Banyutengah kini disebut akan diteruskan ke Inspektorat, Kejaksaan Negeri, dan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Audit investigatif dipastikan menjadi ujian serius. Jika ditemukan aliran dana tidak sah, maka kursi kepala desa bisa berubah menjadi kursi terdakwa.


Kasus Banyutengah memperlihatkan bagaimana dana desa, yang sejatinya digulirkan untuk mengangkat perekonomian rakyat, justru rawan menjadi ladang permainan gelap. Transparansi yang dikubur sama artinya dengan mengkhianati jutaan warga desa yang menggantungkan harapan pada keadilan pembangunan.red.

Posting Komentar untuk "Uang publik Menguap, Kepala Desa Banyutengah Diambang Jerat Hukum"

Ads :