Jam Gadang Saksi Bisu Darah yang Tumpah di Bukittinggi, Sebuah Sejarah Pilu yang Dilupakan Orang Minangkabau


✍️ Oleh: Firdaus
Walinagari Bukik Batabuah – Ketua DPD KNPI Kota Bukittinggi – Presidium Majlis Daerah KAHMI Bukittinggi


Bukittinggi — kota berhawa sejuk di jantung Minangkabau. Hari ini dikenal dengan keramahan, keindahan, dan kemegahan Jam Gadang yang menjadi ikon kebanggaan urang awak.
Namun, di balik dentang jam yang setiap hari menandai waktu, tersimpan sebuah sejarah pilu yang lama dikubur dalam diam — sejarah yang hampir tak pernah diajarkan kepada generasi muda Minang.

Tahun 1958.
Ketika pergolakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) mengguncang Sumatera Barat, Bukittinggi menjadi pusat gejolak dan ketegangan.
Kota yang dulunya disebut Parijs van Sumatra berubah menjadi lautan ketakutan.
Ketika pasukan pemerintah pusat merebut kembali kota ini, banyak rakyat Minang yang tak sempat lari, tak tahu salah, tak tahu benar, hanya berusaha bertahan hidup di tengah badai.

Lalu terjadilah tragedi berdarah di bawah bayang Jam Gadang.
Sebanyak 187 orang terbunuh.
Sebagian besar dari mereka bukanlah tentara, bukan pemberontak, bukan anggota PRRI.
Mereka hanyalah rakyat biasa — pedagang di pasar Ateh, guru di sekolah, mahasiswa yang baru belajar menulis masa depan, dan petani yang datang menjual hasil ladangnya.

Dari semua korban itu, hanya tujuh belas orang yang kemudian diketahui benar-benar gerilyawan PRRI.
Sementara 170 lainnya hanyalah korban salah sangka, korban kebencian, dan korban dari situasi yang kehilangan akal sehat.
Darah mereka mengalir di jalan-jalan kota yang kini penuh wisatawan.
Tangisan ibu-ibu bergema di tangsi, di pasar, di kaki Jam Gadang.
Tapi waktu berjalan, dan suara itu perlahan hilang ditelan sejarah.

Tak ada prasasti.
Tak ada peringatan.
Tak ada upacara untuk mengenang mereka.
Yang tersisa hanyalah Jam Gadang — berdiri tegak, menjadi saksi bisu dari luka yang tak pernah disembuhkan.

Anak-anak muda kini hanya mengenal Jam Gadang sebagai tempat berfoto, tempat menunggu senja, tempat menonton konser.
Tak ada yang tahu, di tanah tempat mereka berpijak itu dulu pernah basah oleh darah orang Minang sendiri.
Sejarah pilu itu nyaris hilang, terkubur di bawah euforia modernitas dan lupa diri.

Namun sejarah tak akan pernah benar-benar mati.
Ia menunggu untuk disingkap, untuk diceritakan kembali — bukan untuk membuka luka lama, tapi agar generasi Minang tak kehilangan nurani dan jati diri.

Kita harus berani berkata bahwa di bawah Jam Gadang yang megah itu, pernah terjadi tragedi kemanusiaan.
Dan kita, anak cucu Minangkabau, wajib mengenangnya dengan doa dan pengingat:
agar darah tak lagi ditumpahkan atas nama perbedaan,
agar Jam Gadang berdiri bukan hanya sebagai lambang kota,
tapi juga lambang kesadaran sejarah dan persaudaraan yang pernah retak.

Posting Komentar untuk "Jam Gadang Saksi Bisu Darah yang Tumpah di Bukittinggi, Sebuah Sejarah Pilu yang Dilupakan Orang Minangkabau"

Ads :