Pontianak, Kalimantan Barat — 20 Desember 2025|Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, SH, menyoroti praktik penegakan hukum oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam proses Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJP) yang dinilai kerap tidak proporsional dan berpotensi menciptakan iklim kerja yang tidak kondusif.
Menurut Dr. Herman Hofi, para pengusaha jasa konstruksi serta penyedia barang dan jasa pemerintah selama ini sering mengeluhkan sikap APH yang melakukan pemanggilan dengan alasan kesalahan yang tidak spesifik dan tidak jelas. Pola tersebut, kata dia, bukan hanya mengganggu kelancaran pekerjaan, tetapi juga berdampak langsung pada terhambatnya penyerapan anggaran pemerintah.
“Fenomena ini sangat mengganggu dan menciptakan iklim kerja yang tidak kondusif. Bahkan dapat menghambat penyerapan anggaran. Ini memerlukan perhatian serius dari Kapolri, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, terutama dalam mengimplementasikan Nota Kesepahaman (MoU) tentang koordinasi APIP dengan APH dalam penanganan laporan atau pengaduan penyelenggaraan pemerintahan daerah,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa secara regulasi, proses PBJP merupakan ranah hukum administrasi yang melibatkan kontrak keperdataan.
Namun dalam praktiknya, APH kerap langsung menggunakan pendekatan pidana tanpa melalui mekanisme administrasi yang semestinya.
Dr. Herman Hofi menjelaskan bahwa berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018, serta diperkuat dengan hadirnya Perpres Nomor 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kerangka regulasi PBJP sejatinya telah dirancang secara komprehensif untuk memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan dari potensi kriminalisasi bagi pelaksana pengadaan.
“Publik perlu memahami bahwa kontrak PBJP adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan penyedia, yang tunduk pada Pasal 1338 KUHPerdata tentang asas pacta sunt servanda dan Pasal 1340 KUHPerdata. Jika terjadi wanprestasi, mekanisme penyelesaiannya adalah gugatan perdata atau arbitrase, bukan pidana,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menguraikan bahwa mekanisme penyelesaian masalah dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jika terdapat dugaan kerugian negara, maka Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) harus berada di garis terdepan untuk melakukan pemeriksaan dan penyelesaian.
Merujuk Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan, Dr. Herman Hofi menyebutkan bahwa kesalahan administratif tanpa unsur penyalahgunaan wewenang menjadi tanggung jawab organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Namun, apabila kesalahan administratif tersebut mengandung unsur penyalahgunaan wewenang, maka penggantian kerugian dibebankan kepada pejabat yang bersangkutan. Dalam mekanisme tersebut, terdapat tenggat waktu 60 hari untuk menindaklanjuti rekomendasi APIP sebelum persoalan dibawa ke ranah hukum lainnya.
Ia menegaskan bahwa hukum pidana seharusnya ditempatkan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir, bukan primum remedium. Selama aspek administrasi dan perdata telah mampu memberikan pemulihan, termasuk penggantian kerugian negara, maka proses pidana tidak relevan dilakukan kecuali ditemukan unsur mens rea seperti suap, gratifikasi, atau persekongkolan.
Terkait posisi Pengguna Anggaran (PA), Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Dr. Herman Hofi menegaskan bahwa mereka tidak perlu merasa terintimidasi oleh APH selama bekerja sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.
“Tanpa adanya mens rea, kesalahan administratif tidak dapat serta-merta ditarik ke ranah tindak pidana korupsi. Ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 yang menginstruksikan APH untuk mendahulukan proses administrasi internal melalui APIP sebelum penyidikan,” katanya.
Ia juga mendorong agar organisasi jasa konstruksi sebagai payung bagi para kontraktor bersikap lebih tegas terhadap praktik penegakan hukum yang menyimpang dari rule of the game.
Selain itu, kepala daerah dinilai perlu melakukan penguatan APIP di daerah masing-masing sebagai kunci agar setiap persoalan tidak langsung berujung ke meja hijau tanpa proses audit administratif yang objektif.
Sebagai ketua Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), para kepala daerah juga diharapkan mampu mengomunikasikan dan menyelaraskan pemahaman lintas sektor agar pelayanan publik, khususnya di bidang pengadaan barang dan jasa, dapat berjalan normal tanpa intimidasi dari pihak mana pun.
“Sekali lagi, kesalahan administratif dalam pengadaan barang dan jasa, menurut Perpres 46 Tahun 2025 dan UU Administrasi Pemerintahan, penyelesaiannya adalah melalui mekanisme ganti rugi, bukan pidana. Tanpa mens rea, tindakan administratif tidak boleh dipidanakan. Organisasi jasa konstruksi harus bersatu menolak malpraktik hukum yang mengabaikan prinsip ultimum remedium,” pungkas Dr. Herman Hofi Munawar.
Sumber/ Pengamat Kebijakan Publik
(Red/Am)



.png)
Posting Komentar untuk "Pengamat Kebijakan Publik Soroti Pola Pemanggilan APH dalam Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah!"