Media JEJAK KRIMINAL.net
Dalam sebuah ironi kepemimpinan di tingkat desa, seorang Kepala Desa yang seharusnya menjadi garda terdepan keterbukaan informasi justru memilih jalan pintas: memblokir nomor wartawan. Kejadian ini bermula saat wartawan mengirimkan tautan berita terkait program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di desa tersebut, yang dikabarkan memungut biaya administrasi hingga Rp 700.000 per bidang.
Alih-alih memberikan klarifikasi atau meluruskan informasi, Kepala Desa justru menutup diri rapat-rapat dan memutuskan jalur komunikasi dengan jurnalis. Nomor wartawan langsung diblokir, membuat upaya konfirmasi dan klarifikasi buntu seketika. Tindakan ini menimbulkan tanda tanya besar dan mencoreng prinsip keterbukaan informasi yang menjadi roh dalam pelayanan publik.
Publik tentu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ditakuti oleh sang Kepala Desa? Mengapa seorang pejabat publik, yang notabene digaji dari uang rakyat dan menjalankan program nasional, memilih sikap defensif seperti seorang tersangka yang terpojok? Sikap ini tidak hanya meninggalkan kesan arogan, tetapi juga menimbulkan spekulasi liar di masyarakat: apakah ada sesuatu yang sengaja disembunyikan di balik pungutan Rp 700 ribu itu?
Program PTSL sejatinya merupakan agenda strategis pemerintah untuk memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah secara cepat dan gratis sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, di beberapa wilayah, program ini kerap disusupi pungutan dengan dalih biaya administrasi. Saat pertanyaan itu diarahkan kepada Kepala Desa, yang muncul bukan klarifikasi, tetapi pemblokiran nomor wartawan—sebuah tindakan yang jelas memperlihatkan anti-kritik dan anti-transparansi.
Dalam dunia pemerintahan modern, seorang pejabat publik yang alergi terhadap konfirmasi pers sama saja dengan menutup mata dari kewajiban moral dan hukum untuk memberikan informasi yang benar. Memblokir wartawan bukanlah cara seorang pemimpin, melainkan cara orang yang takut dengan kebenaran. Publik menilai langkah itu sebagai tanda ketidakmampuan menghadapi sorotan media, seakan lebih nyaman bersembunyi di balik layar ponsel daripada menjawab tanggung jawab di lapangan.
Kini, bukan hanya soal pungutan Rp 700 ribu yang dipertanyakan, tetapi juga mental kepemimpinan yang ditunjukkan Kepala Desa. Jika memang pungutan tersebut sah dan memiliki dasar hukum, mengapa harus takut? Mengapa harus memutus komunikasi dengan pihak pers? Sikap seperti ini hanya memperkuat persepsi negatif dan kecurigaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pelaksanaan program tersebut.
Di era keterbukaan informasi, menutup diri sama saja dengan bunuh diri reputasi. Publik menunggu keberanian Kepala Desa untuk bicara dan memberikan klarifikasi terbuka, bukan malah bersembunyi di balik fitur pemblokiran nomor telepon. Sebab pada akhirnya, kebenaran akan tetap menemukan jalannya, bahkan ketika seorang pemimpin mencoba menutup semua pintu komunikasi.red.(Bagio)



.png)
Posting Komentar untuk "Kepala Desa Blokir Wartawan Setelah Dikirimi Link Berita Program PTSL "