Hukum sebagai Ultimum Remedium — Dr. Herman Tegaskan Jaksa dan Hakim Tipikor Harus Buktikan Kerugian Negara Secara Kuantitatif!



Pontianak — Kasus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pasir Panjang di Singkawang kembali memicu perdebatan hukum setelah sejumlah pejabat daerah dijadikan terdakwa dalam perkara yang disangka menimbulkan kerugian negara.


Menurut Dr. Herman Hofi Munawar, pengamat hukum dan kebijakan publik, penyikapan perkara ini patut dicermati lebih mendalam karena berpotensi mencampuradukkan ranah administrasi pemerintahan dengan hukum pidana.


“Persoalan HPL pada dasarnya adalah masalaḥ administrasi negara. Ketika yang dipersoalkan adalah cacat prosedural atau maladministrasi, mekanisme penyelesaiannya adalah administratif melalui pembatalan keputusan atau ganti rugi administratif  bukan otomatis dilabeli pidana korupsi,” ujar Dr. Herman Hofi, Kamis, 30 Oktober 2025.


Dr. Herman menekankan bahwa menurut ketentuan dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), penuntutan pidana korupsi harus memenuhi unsur-unsur esensial adanya perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara yang nyata, pasti, dan terkuantifikasi serta adanya unsur kesengajaan (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.


“Jika HPL diterbitkan dengan cacat prosedur namun secara fisik lahan tetap dikuasai atau merupakan aset Pemerintah Kota Singkawang, maka bukti adanya kerugian negara yang nyata menjadi samar. Apa yang tampak lebih mungkin adalah kerugian potensial atau non-finansial akibat maladministrasi, bukan kerugian fiskal definitif yang menjadi dasar tuntutan Tipikor,” jelasnya.


Dalam perspektif administrasi pemerintahan, kepala daerah memiliki kewenangan membuat keputusan dan menggunakan diskresi demi kepentingan umum sebuah doktrin yang menurut Dr. Herman juga diatur dalam norma-norma perundang-undangan terkait penyelenggaraan pemerintahan daerah.


“Hukum pidana harus menjadi jalan terakhir (ultimum remedium). Mempidanakan pejabat hanya karena kesalahan administratif tanpa bukti niat koruptif jelas melanggar prinsip tersebut,” tegasnya.


Dr. Herman juga mengingatkan pentingnya menguji apakah para terdakwa (inisial S, WT, PG) semata-mata menjalankan perintah jabatan atau kebijakan yang dihasilkan dari proses administrasi daerah.


“Jika tindakan mereka adalah pelaksanaan kebijakan yang didasarkan pada delegasi wewenang atau perintah yang sah, maka tindakan itu patut dinilai dalam kerangka good faith pelaksana kebijakan, bukan kejahatan.”


Dalam konteks pembuktian, Dr. Herman menyorot pentingnya peran Walikota Singkawang, Tjai Chui Mie, sebagai figur sentral. Keputusan mengenai HPL di tingkat daerah sering kali adalah finalisasi kebijakan yang berada di tangan kepala daerah. Oleh karena itu, keterangan walikota sangat menentukan apakah penerbitan atau perpanjangan HPL merupakan bagian dari program pembangunan strategis daerah atau didasari motif lain.


“Apabila ada pendelegasian dari walikota, perlu diklarifikasi apakah pegawai bertindak atas perintah atau inisiatif pribadi. Kalau walikota tidak menjelaskan rantai kebijakan yang utuh, dikhawatirkan staf teknis menjadi korban pidana atas kebijakan yang bukan berada dalam kewenangan mutlak mereka,” ujar Dr. Herman.


Dr. Herman menilai bahwa cacat prosedur administrasi atau kesalahan tata kelola pertanahan semestinya diselesaikan melalui PTUN atau mekanisme administrasi lainnya.


“Pengadilan Tipikor bukan forum yang cocok untuk mengurusi cacat prosedural tanpa bukti niat koruptif. Jika jaksa umum (JPU) tetap menuntut tanpa bukti mens rea dan kerugian negara yang terukur, maka hakim tipikor harus berani berbeda pandangan.”


Ia menambahkan, jika memang terdapat kekeliruan administratif, keputusan administrasi dapat dibatalkan berdasarkan aturan administrasi negara seperti yang termaktub dalam prinsip pembatalan administrasi tanpa serta-merta mempidanakan pejabat yang bertindak dalam kerangka kebijakan.


Dr. Herman meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pontianak untuk memperhatikan secara cermat seluruh dalil dan bukti yang diajukan.


“Hukum harus tegas memisahkan antara maladministrasi dan tindak pidana korupsi. Bila JPU gagal membuktikan niat jahat dan kerugian negara yang definitif, maka keadilan menuntut kasus ini dikembalikan ke ranah administrasi. Selain itu, perlu pemeriksaan terhadap jaksa yang mungkin ‘menggoreng’ persoalan administratif menjadi pidana,” pungkasnya.




Sumber : Dr.Herman Hofi Munawar,SH

Red/Tim*

Posting Komentar untuk "Hukum sebagai Ultimum Remedium — Dr. Herman Tegaskan Jaksa dan Hakim Tipikor Harus Buktikan Kerugian Negara Secara Kuantitatif!"

Ads :