PONTIANAK — Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik, Dr. Herman Hofi Munawar, menyoroti persoalan klasik yang hingga kini belum terselesaikan terkait buruh bongkar muat, baik di dalam maupun di luar area pelabuhan.
Menurutnya, problem upah, jaminan sosial BPJS, hingga perlindungan hukum masih menjadi momok yang terus menghantui para pekerja sektor logistik tersebut.
Herman menyebut status buruh bongkar muat hingga kini masih “abu-abu”, sehingga mereka sangat mudah diberhentikan tanpa perlindungan hukum yang jelas.
“Karena status mereka bukan pegawai tetap perusahaan, maka buruh dengan mudah ‘dicampakkan’ tanpa mekanisme penyelesaian. Ini persoalan struktural yang dibiarkan puluhan tahun,” ujarnya, Sabtu, 23 November 2025.
Ia menjelaskan, mekanisme kerja bongkar muat di Pelabuhan Dwikora dan wilayah sekitarnya telah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Namun, hingga kini Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) disebut tidak pernah benar-benar turun tangan menyelesaikan problem buruh di sektor ini.
“Ketika buruh mengadukan nasib mereka, tidak ada jawaban, tidak ada penyelesaian. Mestinya Disnaker melakukan pendataan, memastikan hak-hak dasar buruh terpenuhi sesuai regulasi ketenagakerjaan dan konvensi hukum yang berlaku,” kata Herman.
Herman menekankan pentingnya pemisahan yang tegas antara zona kerja buruh bongkar muat di dalam pelabuhan dan di luar pelabuhan. Hal ini demi menghindari konflik kewenangan, tumpang tindih operasi, hingga praktik pungutan liar (pungli) yang kerap terjadi di dua wilayah tersebut.
“Peraturan sudah jelas, Koperasi TKBM hanya boleh bekerja di dalam area pelabuhan. Pembatasan wilayah kerja ini penting untuk memperjelas yurisdiksi dan mencegah pungli baik di dalam maupun di luar pelabuhan,” ujarnya.
Herman menegaskan, perlindungan hukum yang komprehensif bagi buruh bongkar muat merupakan mandat konstitusi.
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 88 mewajibkan pemberian upah layak.
UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS menegaskan kepesertaan penuh buruh dalam jaminan sosial tenaga kerja dan kesehatan.
“Disnaker tidak boleh diam. Mereka wajib memastikan buruh mendapatkan hak normatif berupa kepastian upah, BPJS Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan,” tutur Herman.
Menurut Herman, kepastian biaya logistik dan bebas pungli merupakan prasyarat penting terciptanya efisiensi rantai pasok dan iklim investasi yang sehat. Pungli melanggar Pasal 423 KUHP dan bertentangan dengan Instruksi Presiden tentang Satgas Saber Pungli.
Tarif resmi yang ditetapkan Kementerian Perhubungan disebut telah memberikan kepastian operasional sesuai prinsip Good Corporate Governance, sebagaimana diamanatkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
“Jika pungli diberantas, buruh senang bekerja, pengusaha nyaman berusaha, dan masyarakat mendapatkan logistik yang lancar, murah, dan terjangkau,” ucap Herman.
Herman menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi buruh bongkar muat baik di dalam maupun di luar pelabuhan bukan sekadar tuntutan, melainkan kewajiban regulatif pemerintah daerah, khususnya Disnaker dan Dinas Koperasi.
“Dasar hukumnya kuat. Tinggal kemauan pemerintah untuk benar-benar hadir menyelesaikan persoalan buruh yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Semoga segera diwujudkan,” tuturnya.
Sumber : Pengamat Kebijakan Publik
(Red/Am)



.png)
Posting Komentar untuk "Mandat Konstitusi Diabaikan: Pengamat Desak Disnaker Bertindak Atasi Masalah Klasik Buruh Pelabuhan!"